Rabu, 05 Agustus 2015

Sekolah? Ranking? Kualitas?

Sekolah? Ranking? Kualitas?



Bahasan kali ini masih menyangkut mengenai pendidikan, tetapi kali ini sorotan menuju sang pembimbing generasi muda yang kita kenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa alias guru. Pengaruh seorang guru terhadap kemajuan sang murid memang penting, apalagi di fase perkembangan anak, ilmu pengetahuan, etika, sosialisasi, murid akan dapatkan. Kepercayaan orang tua pun terbayar ketika melihat anaknya berprestasi, pandai, rajin, beretika, dll.

Siapa sangka dunia pendidikan menjadi ajang balap lari sang orang tua murid? Mulai dari les private kepada gurunya disekolah, memberikan parcel tiap naik kelas dan hari besar, guna untuk mendongkrak nilai anak di sekolah. Artikel ini bukan menyudutkan seorang guru sebagai pengajar tetapi sejauh mana pengaruh orang tua murid yang merusak pendidikan hanya untuk ketenaran anaknya.

Saya akan menceritakan adik saya yang memang pandai di sekolah (karena saya kurang pandai). ari sisi pengetahuan dia cukup baik, bahkan orang tua saya juga cukup memujinya, tapi di sekolah dia hanya di ranking 7 8 9. Orang tua saya tidak peduli dengan ranking, mereka cukup puas dengan respon baik adik saya dalam menangkap pelajaran. Ini cerita dari orang tua saya, pada saat itu adik saya ditawari untuk les saja ke gurunya, supaya dia tambah pandai. Orang tua saya bingung, "buat apa anak saya di les kan bu? Dia tidak punya permasalahan dalam studi nya kan? Ibu guru itu menjawab "Iya, cuma kan supaya bisa bersaing dengan murid yang peringkatnya lebih tinggi, soalnya kan yang peringkat tinggi-tinggi itu semua pada les sama saya." Orang tua saya tidak menjawab dan cukup senyum dan meninggalkan tempat. Ternyata pesan itu juga diucapkan oleh adik saya ke orang tua saya, "kata bu guru, saya disuruh les, kan ada temen-temen yang lain." Orang tua saya merasa ada yang tidak beres ini. Hal itu didukung dengan kumpulan orang tua murid yang mengajak orang tua saya untuk mengikutkan adik saya les kepada guru kelasnya. Tapi untuk orang tua saya, tidak ada kata mengikutkan les kepada guru bersangkutan dengan alasan apapun, jika mau les maka pilihk=lah guru SD lain. (itu yang diterapkan pada saya dan hasilnya gitu-gitu aja tetep jelek nilai saya)

Waktu terus berjalan sampai akhirnya adik saya ada di bangku kelas 6 SD. Tidak disangka adik saya juara 2 tingkat sekolah di kesempatan itu, Dari peringkat 7 8 9 tingkat kelas jadi 2 besar, kok kenaikannya ekstrim sekali. Bahkan orang tua saya pun tidak menyangka, bahwa adik saya menjadi juara 2 tingkat sekolah. Bisa saja adik saya belajar dengan serius dan tekun. Ternyata hal tersebut di dukung ketika masuk ke bangku SMP dan SMA. Dimana seorang murid sudah bisa menilai apa yang benar dan salah adik saya menjadi peringkat 1 di kelas dan peringkat 2 di sekolahan, bahakn peringkat 1 paralel se kota di tingkat SMA.

Nah kejadian tersebut memang belum bisa membuktikan benar atau tidak, ternyata saudara ibu saya ada yang memiliki anak dan tiap kenaikan kelas dia memberikan parcel untuk gurunya. Dia bilang dlu anak saya kelas 1 dan 2 tidak pernah ranking setelah les jadi ranking 10 besar. Lalu ibu saya bertanya lalu buat apa itu parcel? "buat tanda terimakasih telah mengajar anak saya" jawabnya. Ternyata mental guru semakin dirusak dengan ambisi buta orang tua murid untuk menunjukan peringkat anaknya di sekolah. Tidak peduli dengan kondisi sang anak, orang tua murid hanya menginginkan sutu status yang bisa dipamerkan untuk orang lain.

Moral seorang guru dirusak begitu saja oleh orang tua murid. Orang tua murid mendapatkan output dari guru bahwa anaknya baik-baik saja disekolah, ternyata rapor itu hanya menggambarkan nilai dongkrakan tanpa berisi nilai sebenarnya dari anak tersebut. Pertanyaannya sekarang, bagaimana kualitas dari sang anak itu sendiri? Perkembangan anak yang kita lihat dari coretan indah di buku rapor, tiba-tiba berputar balik setelah masuk ke fase remaja dan sang anak sudah rusak karena didikan yang buruk. Apakah status lebih penting daripada kualitas? Bagaimana kita bisa mengharapkan adanya anak-anak yang cerdas ketika mental sang pengajar sudah rusak? Semoga dengan artikel ini orang tua bisa lebih sadar dan mengerti. merekalah pahlawan tanpa tanda jasa, disanalah kita mempertaruhkan masa depan anak-anak, pentingkah nilai rapor daripada masa depan anak kita yang semakin rusak? fokuslah terhadap pembangunan mental dan moral sang anak dari pada kebanggaan sesaat yang menjatuhkan masa depan anak kita. Dan untuk guru, bukankah hal yang anda lakukan adalah pelayanan dalam mencerdaskan bangsa? Sangat disayangkan sekali ada guru yang melakukan tindakan seperti itu. Saya tidak menyalahkan parcel atau apapun, terimalah parcel itu sebagai suatu hadiah tetapi bukan sebagai suatu suapan untuk memperoleh yang lebih banyak lagi. Tunjukanlah bahwa sebutan pahlawan tanpa tanda jasa itu benar" bukan menjadi "pahlawan dengan jasa antar parcel dan amplop." Sekian artikel dari saya terimakasih pembaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar